Murita Herliningtyas, M.Pd., memperlihatkan buku “Meniti Jejak Masa Lalu (Mengungkap Peradaban di Malang Raya)”, hasil karya kolaboratif siswa MIN 1 Kota Malang yang ia bimbing
M1NEWS— Di ruang kelas IV MIN 1 Kota Malang, pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial tak lagi sebatas membaca halaman buku teks. Bersama Murita Herliningtyas, M.Pd., guru yang dikenal penuh inisiatif, pelajaran tentang sejarah daerah berubah menjadi proyek menulis buku yang mengasyikkan. Berjudul “Meniti Jejak Masa Lalu: Mengungkap Peradaban di Malang Raya,” karya ini ditulis oleh 28 siswa kelas IVA bimbingannya sendiri, berdasarkan kunjungan langsung ke situs-situs bersejarah di Malang.
Ide ini berangkat dari kegelisahan Bu Murita terhadap materi ajar yang dirasa kurang kontekstual. “Jadi di kelas 4 itu kan ada materi asal usul daerahku. Sementara buku materi yang diterbitkan itu kan cakupannya nasional,” tuturnya saat diwawancarai Tim Kehumasan pada Kamis (8/5/2025).
Merespons hal tersebut, ia berinisiatif menjalin komunikasi dengan Paguyuban Orang Tua Siswa (POS), mengajak mereka terlibat memberikan pengalaman langsung kepada anak-anak. “Saya bersama Paguyuban Orang Tua Siswa ingin memberikan pengalaman mengajak pada anak-anak, melihat asal muasal Malang dan peninggalan sejarahnya seperti apa. Akhirnya, secara mandiri saya buatkan semacam lembar kerja. Mereka berkunjung ke tempat-tempat itu, kemudian saya berikan semacam desain untuk membuat laporan,” ujarnya.
Proses menulis dimulai dari eksplorasi ke berbagai lokasi bersejarah di Malang Raya, antara lain Candi Badut, Candi Singosari, Candi Jago, dan Candi Kidal. Selain itu, anak-anak juga diajak mengunjungi Museum Mpu Purwa dan Museum Panji, yang menyimpan banyak artefak dan narasi tentang peradaban Jawa Timur.
“Ceritanya memang semacam cerita perjalanan. Jadi kan nggak terasa ya, cuma yang dituliskan pengalaman dia untuk menemukan peninggalan sejarah itu,” jelas Bu Murita. Dengan metode ini, siswa diajak menulis dengan rasa, bukan sekadar menyalin informasi.
Dari proses tersebut, terungkap bahwa banyak siswa yang bahkan belum pernah mengenal beberapa situs sejarah yang berada tak jauh dari tempat tinggal mereka. “Ternyata anak-anak itu ada yang mengenal dan banyak ternyata yang tidak,” ungkapnya. Namun, setelah kunjungan dan penulisan, pemahaman mereka meningkat drastis. Orang tua pun memberikan respons positif atas inisiatif ini.
Tak hanya menulis, siswa juga diajak melakukan riset sederhana, termasuk wawancara langsung selama kunjungan. “Anak-anak ada riset sederhana, ada wawancara juga. Anak-anak ke sana kunjungan dengan orang tua. Ada waktu satu bulan anak-anak melakukan penulisan,” tutur Bu Murita. Selama proses itu, anak-anak belajar merancang struktur laporan, menuangkan ide, hingga menyalin ulang untuk hasil akhir yang siap cetak.
Karya ini bukan hanya soal mengenalkan sejarah lokal, tetapi juga upaya menumbuhkan budaya literasi. “Kalau harapan saya ke anak-anak, pertama bisa memotivasi anak-anak berliterasi, berkarya. Yang kedua, di era globalisasi seperti ini, anak-anak kok tidak mengenali daerah dan asal usulnya. Mengajak mereka berkunjung ke museum akan membuat terasah lagi rasa nasionalismenya,” kata Bu Murita, yang mengaku memiliki cita-cita memperluas proyek serupa di kemudian hari.
“Kalau ada kesempatan yang lebih besar ke depan, tidak hanya di Malang saja, tapi juga di luar Malang,” ucapnya menutup perbincangan.
Selain membimbing siswa menulis buku, Murita yang dikenal gemar traveling ini juga menerbitkan buku solo berjudul “Menembus Batas Khatulistiwa”. Buku tersebut ia tulis sebagai bentuk travel writing yang menggabungkan pengalaman perjalanan dan pembelajaran IPS global.
“Ini sebenarnya travel writing yang saya tulis bersama teman-teman komunitas IPS, seperti guru IPS, pemerhati sejarah, dan lain-lain. Saat itu saya mengajar IPS kelas 6, materinya berbicara tentang dunia. Kalau kita jadi guru, tidak bisa hanya bercerita saja, saya merasa harus melakukan perjalanan sendiri,” ujarnya.

Dengan dana pribadi, Murita melakukan perjalanan ke dua negara, yaitu Singapura pada 2024 dan Malaysia pada 2025. “Jadi buku Menembus Batas Khatulistiwa ini ditulis untuk memadukan pelajaran IPS yang selama ini hanya dibaca dan dibrowsing di internet, menjadi sesuatu yang nyata dan inspiratif bagi siswa,” tutupnya.


